Pemikir Yang Mendaratkan Filsafat

Pertanyaan tentang apa itu filsafat, mengapa berfilsafat, apa tujuan berfilsafat; tentu sudah banyak direfleksikan dalam pelbagai pemikiran dan buku-buku serius yang dapat ditemukan di perpustakaan dan koleksi-koleksi. Namun, satu pertanyaan yang menggelitik saya sebagai tamatan dari kampus yang berkonsentrasi filsafat, khususnya filsafat agama, adalah bagaimana berfilsafat dengan baik, sederhana dan menyentuh pertanyaan konkrit umat manusia, dan bagaimana untuk sampai pada sebuah filsafat yang hidup, dinamis dan mampu memberi jalan keluar yang kreatif bagi sebuah persoalan. Pertanyaan ini tidak berujung pada sebuah tutuntan pragmatis dari filsafat, melainkan bagaimana memanfaatkan filsafat sebagai sebuah “alat” kehidupan.

Esensi berfilsafat menurut saya adalah berpikir. Pikiran yang logis, sistematis, runtun, dan lengkap alias komprehensif tentang realitas. Berpikir merupakan salah satu daya yang ada pada manusia. Tapi, apakah semua aktus berpikir itu dapat dinamakan filsafat? Tentu tidak. Ciri khas pemikiran filsafat adalah kedalaman dan keluasannya. Kedalaman dalam arti sebuah aktus berpikir yang mampu menelaah sesuatu sampai pada akar persoalannya. Sedangkan keluasannya dalam arti aktus berpikir yang mampu melihat semua dimensi persoalan dan akhirnya mencari benang merah, atau inti persoalan. Itulah yang dinamakan hakekat atau esensi suatu hal.

Lantas, bagaimanakah untuk menerapkan cara berpikir filosofis dalam setiap persoalan. Pasalnya, semua ilmu telah berkembang pesat dengan aneka pendekatan dan penyelesaian yang begitu canggih, mutakhir dan kreatif. Sementara kalau cara berpikir filosofis masih stagnan, apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang filsuf? Yang pasti ia harus membaharui ilmunya dengan terus berkontak dengan pengalaman-pengalaman hidup. Entahkah itu bersifat personal maupun sosial. Entahkah itu bersifat esensial maupun kontingensial. Cara berpikir filosofis semestinya dinamis dengan pendekatan kata-kata yang hidup juga. Artinya ia harus terbuka juga pada perkembangan ilmu lain seperti komputer, kedokteran, psikologi, jurnalistik, sosiologi, antropologi, dsb. Syaratnya yakni membaca, mendengarkan, belajar dari orang yang berilmu lain, berdiskusi dengan orang lain, terus menulis, terus berefleksi dan membangun sikap filosofis dengan tidak puas dengan aneka jawaban yang caranya lewat membuat pertanyaan-pertanyaan kritis.

Berpikir kreatif. Menurut saya ini merupakan salah satu cara untuk terus menghidupkan sikap filosofis dalam hidup. Dan yang pasti tidak cukup hanya pada suatu deskripsi melainkan pada suatu solusi yang membumi. Seorang filsuf tidak hanya harus mampu berpikir melainkan bagaimana pikirannya dapat memberikan sumbangan segar dan baru bagi perkembangan manusia.

Berpikir radikal sekaligus fruktual. Seorang filsuf memang harus berpikir sampai di akar persoalan. Mengapa? Apa sebab akhir dari sesuatu? Pencarian pada sebab terakhir itu memungkinkan pemikir untuk berjumpa dengan kebenaran yang akan terus dibongkar demi mencapai kebenaran baru. Namun berpikir radikal yang tidak seiring dengan manfaatnya demi kehidupan, akan mengarahkan pemikiran hanya pada ide, ia tidak akan menjadi sebuah inkarnasi “logos”  atau kata-kata menjadi kenyataan. Jadi, berpikir radikal harus seiring dengan cara berpikir fruktual. Pikiran yang bermanfaat sekaligus aktual.

Logos menjadi daging. Itu berarti inkarnasi ide abstrak menjadi sebuah pergumulan konkrit yang membawa revolusi, reformasi, perubahan radikal entahkah pada diri si pemikir sendiri maupun pada “mileu” hidup dimana dia mengada. Ide-ide filsafat sudah saatnya mendarat pada ranah aktual; politik, hidup kemasyarakatan, agama, kesehatan, hukum,…dsb. Memang sudah sekian lama itu terjadi, tetapi yang saya maksudkan bahwa filsafat yang menjadi “energi terbarukan” dengan semangat terbarukan untuk memberikan keseimbangan dalam cara berpikir yang pragmatis, fragmentaris dan merusak kemanusiaan.

Yang menjadi tantangan bagi para penggelut filsafat dan mahasiwa filsafat di pelbagai perguruan tinggi: apakah kita belajar filsafat untuk mendapat pekerjaan, misalnya untuk menjadi guru, penyuluh, pemimpin agama, pastor, aktivis LSM, pekerja kantoran, dsb? Apa sesungguhnya panggilan dasariah kita sebagai pemikir? Apakah tujuan kita untuk belajar filsafat sungguh membawa api dinamisme kreatif bagi pembangunan mental dan karakter masyarakat lewat perubahan atau penggerusan lapisan epistemik yang keliru dalam masyarakat? Kalau ada yang berpikir bahwa belajar filsafat hanya untuk mendapat pekerjaan maka anda tidak lebih dari pelajar pramatis. Filsafat itu untuk kehidupan. Memang anda dan saya membutuhkan pekerjaan, tapi itu tidak menjadi tujuan akhir. Pembelajaran dan pergumulan filosofis harus berujung pada perjumpaan dengan kebenaran manusia. Kebenaran yang terus harus dibongkar untuk mencapai kebenaran Yang Lain. Pergumulan filosofis dengan demikian seperti sebuah ziarah batin, karena memang filsafat itu suatu aktus spiritual. Dan disamping aktus sprititual filsafat sendiri adalah sebuah kerja. Bilapun seorang fiilsuf bekerja, ia sedapat mungkin bekerja sebagai filsuf dalam aneka dan bidang pekerjaan apapun. Itulah tugas kita, para penggandrung filsafat.

Sudah waktunya, kita turun dan mendaratkan ide-ide brilian dan kreatif pada sisi konkrit kehidupan. Jangan takut, kita memiliki jaringan luas, kalau kita terus berkomunikasi, membentuk organisme yang kuat, terus membagi cerita dan pemikiran dan bergerak untuk perubahan itu. Jadi, janganlah takut berfilsafat. Takutlah berfilsafat jika pemikiran anda itu hanya sebuah pemikiran yang keliru dan memelihara kesalahan yang diamini bersama. Takutlah jika anda merasa malu untuk mengungkapkan kebenaran yang seharusnya kita wahyukan bersama.

Ide-ide brilian dan besar para filsuf tidak lahir dengan sendiriya atau jatuh dari langit ketika mereka tidur, tetapi karena mereka terus mengasah kemampuan berpikir mereka dengan refleksi, menemukan pemikiran yang baru dan menceburkan diri dalam pengalaman konkrit. Tapi pemikir besar tidak hanya lahir dari membaca buku, melainkan dengan membaca realitas hidup. Buku, ide-ide, gagasan besar hanya membantu kita untuk menemukan prespektif dan cara pandang kita sendiri. Menjadi pemikir besar untuk diri sendiri lebih baik ketimbang menjadi pembicara, pemikir bagi orang lain tapi kualitas hidup si pemikir sendiri dari segi etis dan praktis tidak mendukung pemikirannya. (*)

Posted on 22 September 2011, in ARTIKEL, OPINI and tagged , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar