Anak-anak: bukan dihilangkan, tapi dilindungi

Oleh: Fian Roger

Dalam pencarian ide untuk memulai tulisan ini, saya teringat akan seorang drummer perempuan yang cantik. Siapakah dia? Dia adalah seorang bocah, kontestan sebuah ajang pencarian bakat pada sebuah stasiun televisi swasta. Dengan tangan-tangannya yang mungil sang bocah perempuan itu menggebuk alat musik itu dengan semangat. Jemarinya cantik kala memainkan stik. Di depan drum kesayangannya terpampang tulisan, “Stop violence against children! (hentikan kekerasan terhadap anak-anak)” Gadis kecil penuh bakat itu bernama JP Millenix. Siapa sangka sang bocah bisa memainkan alat musik modern itu selincah dan sepandai para pemusik profesional.

Pesan yang ia sampaikan sederhana namun menukik serta menarik. Sebuah pesan anti kekerasan dan diskriminasi terhadap anak-anak. Suara yang mewakilkan sekian banyak anak yang menjadi korban kekerasan, kekejaman, manipulasi, pelecehan, dan pelbagai bentuk ketidakadilan lain.

Ihwal senada disampaikan sekitar 300 anak Indonesia pada kongres Anak Indonesia IX di kota Pangkal Pinang pada 20 dan 21 Juli silam. Mereka berhasil merumuskan 8 poin “suara anak Indonesia.” Beberapa hal yang penting adalah tuntutan mereka kepada pemerintah untuk menyediakan rumah perlindungan bagi anak terlantar, korban kekerasan, korban perdagangan, korban bencana, dan anak yang berhadapan dengan hukum. Mereka juga meminta pemerintah mencanangkan gerakan nasional melawan kekerasan dan kekejaman terhadap anak; dan membebaskan biaya kesehatan bagi anak. Anak-anak yang tinggal di daerah terpencil, terisolasi, di perbatasan, mereka minta agar diberi fasilitas memadai. Mereka juga menuntut perlindungan dari bahaya rokok sebagai zat adiktif dengan melarang iklan rokok, menaikan harga rokok, membuat peringatan bergambar pada bungkusan rokok, dan menjauhkan akses anak dari rokok  (Tempo, 8 Agustus 2010, 55). Poin-poin ini menyembul kenyataan bahwa banyak anak yang menjadi korban ketidakadilan di negeri ini.

Goenawan Mohamad menyebut kenyataan ini sebagai “penghilangan anak-anak”. Menurutnya, setiap hari anak-anak dihilangkan. Bentuk penghilangan itu beraneka macam. Ada yang lewat cara  halus. Ada pula yang berupa kekerasan. Para bocah dicetak dalam tatanan simbol orang dewasa. Model mereka bukan dari imajinasi mereka sendiri. Mereka didikte, diatur, dan ditentukan oleh orang dewasa.

Mereka di kepung dari segala arah. “Di  layar televisi, mereka dibikin menyanyi seperti biduan komersial menyanyi, berkotbah seperti para kiai berkotbah, bersaing seperti para pecundang dewasa bersaing, ” tulis sang kolumnis majalah Tempo itu (Tempo, 1 Agustus 2010). Mereka juga menjadi obyek penggerusan pelbagai taman hiburan, industri mainan, produser televisi, pengelola jasa iklan untuk meraup keuntungan. Semua itu seakan-akan diamini secara umum.

Anak-anak: korban yang rentan

Banyak anak setiap hari menjadi korban penghilangan itu. Sekitar 2 juta anak dieksploitasi secara ekonomis dengan dipaksa untuk bekerja. Setiap tahun prostitusi anak meningkat. Kebanyakan anak yang dipaksa menjadi pelayan birahi itu terkena HIV-Aids. Di seluruh dunia terdapat 100 juta anak jalanan terlantar tanpa makanan dan pendidikan dasar yang layak.  Penjualan bayi dan organ bayi juga meningkat tajam. Dan setengah dari pengungsi di dunia adalah anak-anak (bdk. Manual JPIC). Setiap tahun masalah ini meningkat tajam.

Catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukan bahwa sebanyak 39,18 persen dari 1. 649 kasus kekerasan terhadap anak merupakan kekerasan seksual. Aris Merdeka Sirait (Ketua Dewan Komisioner Komnas PA)  menyatakan bahwa kekerasan dan eksploitasi terhadap sudah melampaui batas-batas perikemanusiaan. Terdapat 69 kasus penculikan bayi dengan aneka modus, misalnya anak di bawah umur 1 tahun dijual dengan 10 juta-15 juta. Selama Januari-Juni 2010 saja terdapat 676.849 permasalahan dan kasus pelanggaran hak anak yang terdiri dari kasus kekerasan, penelantaran, eksploitasi, keterlibatan anak dalam konflik hukum dan anak yang memerlukan perlindungan khusus (Kompas.com., 12 Agustus 2010).  Catatan ini menunjukan bahwa di negara kita perlindungan terhadap anak sangat rendah. Ini baru yang tercatat, apalagi yang berada diluar jangkauan pengetahuan umum. Mungkin lebih besar lagi. Lebih parah.  Dan lebih kejam.

Di negara ini terdapat dua payung hukum perlindungan terhadap anak yakni; UU peradilan anak No.3 tahun 1997 yang memberikan perlindungan kepada anak yang melakukan perbuatan pidana dan UU Perlindungan Anak No.23 tahun 2002 yang memberikan perlindungan hukum kepada anak terhadap segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan (Puspenkum Kejagung RI 2007).

Adanya aturan demikian tidaklah serta merta mengurangi angka kekerasan dan diskriminasi terhadap anak. Yang terjadi malah semakin parah. Kedua UU ini sejatinya memberikan konsep perlindungan terhadap segenap warga negara terutama yang rentan menjadi korban ketidakadilan. Seperti biasa, semakin banyak peraturan semakin banyak pula pelanggaran. Anak-anak yang seharusnya dilindungi malah diperdaya. Jalan keluar bersama untuk menemukan benang merah persoalan ini adalah ada pada kesadaran  moral dan tanggung jawab etis bersama. Tanpa dua hal ini, ratusan lembar aturan hukumpun tidak akan mampu membendung ragam ketidakadilan yang diderita anak.  Karena kesadaran moral dan tanggung jawab moral haruslah menopang hukum.

Dari relasi “Aku-itu” menuju relasi “Aku-Engkau”

Akar dari masalah ketidakadilan terhadap anak-anak adalah terletak pada faktor relasi, yakni relasi antara orang dewasa dan anak-anak, sesama sebaya dan anak-anak itu sendiri, dan relasi lingkungan dan anak-anak itu. Alasan pokoknya adalah berdasar pada hakekat keadilan itu sendiri. Keadilan merupakan relasi yang benar antara manusia dan sesamanya, manusia dengan lingkungan, dan manusia dangan Sang Khalik. Dalam pelbagai kasus ketidakadilan  itu ditemukan relasi yang kurang etis terhadap sesama. Relasi yang tidak seimbang itu berpola “aku-itu dan aku-dia.”

Dalam relasi “aku-itu”, sesama diperlakukan sebagai obyek. Jenis relasi ini bersifat pragmatis. Sesamaku diperlakukan sebagai benda saja. Aku menggunakannya sejauh ia menguntungkan dan bermanfaat bagiku. Aku tidak menghiraukannya jika aku tidak membutuhkannya. Aku mau membentuk dia sesuai dengan kehendakku. Sebagai misal, dalam kasus penculikan, penjualan, dan transplantasi organ anak-anak, mereka dijadikan barang dagangan belaka. Dalam pengekspliotasian anak-anak secara ekonomi dan seksual, mereka dijadikan sarana pemuas nafsu belaka. Mereka diperlakukan layaknya, kursi, dadu, laptop,vibrator dan benda-benda lain. Padahal mereka adalah sesama yang bermartabat.

Sedang dalam relasi “Aku-dia”, sesama memang tidak diobyekan, melainkan diperlakukan sebagai subyek. Sikapku terhadapnya adalah netral dan acuh tak acuh. Sesama dibiarkan menderita dan terlantar. Lingkungan dan orang-orang merasa tidak bertanggungjawab.  Dalam kasus tertentu anak-anak dengan sengaja dibiarkan berada dalam situasi darurat, dalam masalah hukum, dibiarkan menjadi minoritas dan terisolasi, diperjualbelikan, menjadi korban narkoba padahal anak tersebut membutuhkan pertolongan dan perlu dibantu.

Relasi “aku-itu/ aku-dia” harus beralih menuju relasi “Aku-Engkau” demi menciptakan sosialitas bercita rasa keadilan. Menurut Martin Buber kedua pola relasi ini merupakan relasi utama yang membentuk keseharian hidup (M.Paulus: 2006,74). Landasan dari relasi “Aku-Engkau” terletak pada hakekat manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa merindukan suatu kesatuan dan kebersamaan yang semakin luas dan semakin mendalam. Manusia sebagai pribadi ingin diakui dalam keunikannya dan kekhasannya. Maka, manusia terarah kepada suatu kesatuan di mana keunikan tidak terhapus, melainkan diakui dan diteguhkan (Snijders: 2004, 48).     Relasi  “Aku-Engkau” harus menjadi menjiwai seluruh masyarakat.

Sikap pragmatis tidak memadai karena diri sesama diperlakukan sebagai benda saja. Sikap benci tidak memadai karena meniadakan diri sesamanya. Sikap acuh tak acuh tidak memadai karena menyamakan manusia dengan fungsinya. Relasi “Aku-Engkau” memandang manusia sebagai sesama yang harus diperlakukan dengan cinta dan tanggung jawab. Demikian pula halnya dalam memperlakukan anak-anak, sebagai manusia yang unik dan bermartabat mereka harus diberi cinta dan tanggung jawab yang penuh. Bukan sebaliknya. Maka, mereka harus dilindungi dan dijaga dengan perhatian. Ini tugas luhur para orang tua, pendidik, masyarakat,  dan pemerintah. Semua orang.

Anak-anak adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu bangsa dan suatu komunitas sosial di masa depan, yang memiliki sifat dan ciri yang khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya dalam memandang dan memahami dunia yang merupakan lingkup hidupnya. Oleh karenanya, anak-anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh komunitas masyarakat, komunitas agama, komunitas politik dan pemerintah. Dengan demikian mereka akan bertumbuh seperti tunas-tunas yang segar karena diairi pada musim hujan dan pada masa mendatang mereka akan menghasilkan buah-buah yang baik dan segar. Sebab  ada pepatah mengatakan, “pohon yang kuat tidak tumbuh dari tunas yang lemah.”

Perlindungan dan advokasi kepada anak-anak yang rentan terhadap ketidakadilan merupakan satu panggilan mulia hidup bermasyarakat. Jika ada anak-anak yang mengalami keterasingan, diskiriminasi, kekerasan dan kekejaman, maka berilah pertolongan sedini mungkin, laporkan ke pihak berwajib, dan lindungi mereka dari lingkaran kekerasan dan diskriminasi selanjutnya.

Posted on 15 September 2010, in Uncategorized. Bookmark the permalink. 6 Komentar.

  1. hoho,,, 2 thumbs 4 u
    cerita ttg ebed sangat sangat bagus..
    gambarannya begitu real…ending nya jg bagus…
    …teruslah berkarya…..

  2. saya juga perihatin dengan nasip anak-anak indonseia. tak tak cukup perihatin kita perlu aksi. setuju mas fian??????

Tinggalkan Balasan ke fianroger Batalkan balasan